Selasa, 01 Juli 2014

Tugas IBD ke-4: Perilaku Masyarakat dalam Perubahan Sosial Budaya di Era Globalisasi

A. Modernisasi
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu bentuk perubahan sosial, modernisasi biasanya merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana. Perencanaan sosial (social planning) dewasa ini menjadi ciri umum bagi masyarakat atau negara yang sedang mengalami perkembangan. Suatu perencanaan sosial haruslah didasarkan pada pengertian yang mendalam tentang bagaimana suatu kebudayaan dapat berkembang dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih maju atau modern. Di Indonesia, bentuk-bentuk modernisasi banyak kita jumpai di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, baik dari segi pertanian, industri, perdagangan, maupun sosial budayanya. Salah satu bentuk modernisasi di bidang pertanian adalah dengan adanya teknik-teknik pengolahan lahan yang baru dengan menggunakan mesin-mesin, pupuk dan obat-obatan, irigasi teknis, varietas-varietas unggulan baru, pemanenan serta penanganannya, dan sebagainya. Semua itu merupakan hasil dari adanya modernisasi. Pada gambar berikut terlihat adanya kemajuan atau modernisasi dalam hal pemanenan hasil pertanian. Pada gambar (a) terlihat bahwa pengolahan hasil panen masih dilakukan secara manual; pada gambar (b) terlihat bahwa petani setempat mulai menggunakan teknologi sederhana dalam pengolahan hasil panennya; dan pada gambar (c) terlihat bahwa proses pemanenan dan pengolahan hasil panen dilakukan dengan menggunakan alat pertanian yang canggih sehingga proses pemanenan dan pengolahannya dapat dilakukan sekaligus.Berbagai bidang tersebut dapat berkembang melalui serangkaian proses yang panjang sehingga mencapai pola-pola perilaku baru yang berwujud pada kehidupan masyarakat modern. Sayangnya, penggunaan istilah modernisasi banyak disalahartikan sehingga sisi moralnya terlupakan. Banyak orang yang menganggap modernisasi hanya sebatas pada suatu kebebasan yang bersifat keduniawian. Tidak mengherankan juga bila banyak anggota masyarakat yang salah melangkah dalam menyikapi atau memahami tentang konsep modernisasi.
Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dan kesalahan pemahaman tentang modernisasi, maka secara garis besar istilah modern dapat diartikan berikut ini.
1. Modern berarti kemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya taraf penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
2. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup. Agar modernisasi (sebagai suatu proses) tidak mengarah ke angan-angan belaka, maka modernisasi harus mampu memproyeksikan kecenderungan yang ada dalam masyarakat sekarang ke arah waktu-waktu yang akan datang.
Proses modernisasi tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Modernisasi dapat terjadi apabila ada syarat-syarat berikut ini.
1)    Cara berpikir yang ilmiah yang melembaga dalam kelas penguasa maupun masyarakat.
2)   Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
3)   Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur.
4)   Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5)   Tingkat organisasi yang tinggi, terutama disiplin diri.
6)   Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
Hal yang harus kalian pahami adalah bahwa modernisasi berbeda dengan westernisasi. Jika modernisasi adalah suatu bentuk proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara yang lebih maju; westernisasi adalah proses peniruan oleh suatu masyarakat atau negara terhadap kebudayaan dari negara-negara Barat yang dianggap lebih baik dari budaya daerahnya. Berdasarkan hal tersebut, pengertian modernisasi lebih baik daripada westernisasi. Akan tetapi, bersamaan dengan proses modernisasi biasanya juga terjadi proses westernisasi, karena perkembangan masyarakat modern itu pada umumnya terjadi di dalam kebudayaan Barat yang tersaji dalam kemasan Barat pula.


B. Globalisasi
Istilah globalisasi berasal dari kata global atau globe (globe = bola dunia; global = mendunia). Berdasarkan akar katanya tersebut, dapat diartikan globalisasi sebagai suatu proses masuk ke lingkungan dunia. Pada era modern ini harus diakui bahwa peradaban manusia telah memasuki tahapan baru, yaitu dengan adanya revolusi komunikasi. Dengan cepat, teknik dan jasa telekomunikasi yang memanfaatkan spektrum frekuensi radio dan satelit ini telah berkembang menjadi jaringan yang sangat luas dan menjadi vital dalam berbagai aspek kehidupan dan keselamatan bangsa-bangsa di dunia. Pemanfaatan jasa satelit tidak semata-mata untuk usaha hiburan, namun berkembang secara meluas dan digunakan dalam teknologi pertelevisian, komunikasi, komputer, analisis cuaca, hingga penggunaan untuk survei sumber daya alam. Contoh paling mudah adanya pengaruh globalisasi adalah adanya siaran langsung televisi antarnegara. Hal-hal yang sedang terjadi di negara lain, misalnya final Piala Dunia di Jerman dapat kita ketahui pada saat yang bersamaan. Dalam hal ini definisi berita yang biasanya diartikan sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi berubah menjadi suatu peristiwa yang sedang terjadi. Contoh lain adalah internet. Internet merupakan hasil penggabungan kemajuan teknologi komputer dengan kemajuan teknologi komunikasi yang dianggap sebagai bentuk revolusi di kedua bidang tersebut. Dengan kemampuan pembaruan data yang cepat, internet berkembang sebagai “jendela dunia” yang up to date. Melalui internet, banyak kemudahan yang dapat kalian peroleh tanpa harus berurusan dengan birokrasi antarnegara. Pengiriman surat, data, atau dokumen-dokumen penting ke berbagai penjuru dunia dapat dilakukan dalam hitungan detik.
Bebas, terbuka, langsung, dan tanpa mengenal batas negara merupakan ciri era komunikasi global. Semua kalangan bisa berhubungan dengan jaringan internet, termasuk di dalamnya jaringan-jaringan yang tidak layak atau menyesatkan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Kondisi tersebut hanya sebagian kecil contoh globalisasi. Artinya, hubungan antarmanusia tidak lagi dibatasi aturan atau wilayah negaranya saja, namun mulai mengikuti aturan internasional yang berkembang di dunia. Adanya hubungan yang mendunia ini dipengaruhi oleh adanya saluran-saluran pendukung proses globalisasi berikut ini.
1. Saluran pergaulan; adanya kontak kebudayaan dan saling mengunjungi antarwarga negara akan memudahkan seseorang mempelajari dan mengerti kebudayaan asing. Bentuk pertukaran pelajar, home stay, pertukaran misi kebudayaan, penyerapan tenaga kerja asing, dan sebagainya membuat seseorang tidak hanya tinggal di negara lain, tetapi secara sadar atau tidak ia akan menyerap kebiasaan dan pola kehidupan masyarakat setempat.
2. Saluran teknologi; berbagai peralatan teknologi merupakan saluran globalisasi yang membawa pengaruh yang sangat besar. Seperti telah diungkapkan sedikit pada bagian awal, saluran teknologi ternyata memiliki potensi perubahan yang sangat besar bagi masyarakat penggunanya.
3. Saluran ekonomi; produk-produk baru dapat dengan cepat diinformasikan pada konsumen. Hal ini akan mempercepat pola penawaran dan permintaan di pasar. Bahkan, saat ini sistem bisnis melalui multimedia sudah banyak dilaku-kan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, misalnya dengan cara telemarketing, baik melalui pesawat telepon maupun internet. Kekayaan dan utang suatu negara dapat diketahui dan dibandingkan dengan kondisi di negara lain, sehingga hampir tidak ada rahasia yang dapat tertutup rapat.
4. Saluran media hiburan; produk-produk hiburan seperti film , lagu, dan berbagai jenis produk permainan/games yang beredar dapat memengaruhi mental masyarakat. Sektor ini perlu diwaspadai dalam upaya pembinaan dan perlindungan generasi muda dari degradasi moral.



C. Dampak Modernisasi dan Globalisasi

1. Tanggapan dan Kecenderungan Perilaku Masyarakat terhadap Modernisasi dan Globalisasi
Saat memasuki era milenium ketiga ini, tampaknya arus modernisasi dan globalisasi tidak akan dapat dihindari oleh negara-negara di dunia dalam berbagai aspek kehidupannya. Menolak dan menghindari modernisasi dan globalisasi sama artinya dengan mengucilkan diri dari masyarakat internasional. Kondisi ini tentu akan menyulitkan negara tersebut dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Berbagai tanggapan dan kecenderungan perilaku masyarakat dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi. Secara garis besar dapat dibedakan menjadi sikap positif dan sikap negatif berikut ini.
a.Sikap Positif
Sikap positif menunjukkan bentuk penerimaan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap positif mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1) Penerimaan secara terbuka (open minded); sikap ini merupakan langkah pertama dalam upaya menerima pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap terbuka akan membuat kita lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap kolot, dan akan lebih mudah menerima perubahan dan kemajuan zaman.
2) Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif; sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap terbuka. Setelah kita dapat membuka diri dari hal-hal baru, langkah selanjutnya adalah kita harus memiliki kepekaan (antisipatif) dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi
kaitannya dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi. Sikap antisipatif dapat menunjukkan pengaruh yang timbul akibat adanya arus globalisasi dan modernisasi. Setelah kita mampu menilai pengaruh yang terjadi, maka kita harus mampu memilih (selektif) pengaruh mana yang baik bagi kita dan pengaruh mana yang tidak baik bagi kita.
3) Adaptif, sikap ini merupakan kelanjutan dari sikap antisipatif dan selektif. Sikap adaptif merupakan sikap mampu menyesuaikan diri terhadap hasil perkembangan modernisasi dan globalisasi. Tentu saja penyesuaian diri yang dilakukan bersifat selektif, artinya memiliki pengaruh positif bagi si pelaku.
4) Tidak meninggalkan unsur-unsur budaya asli, seringkali kemajuan zaman mengubah perilaku manusia, mengaburkan kebudayaan yang sudah ada, bahkan menghilangkannya sama sekali. Kondisi ini menyebabkan seseorang/masyarakat kehilangan jati diri mereka, kondisi ini harus dapat dihindari. Semaju apa pun dampak modernisasi yang kita lalui, kita tidak boleh meninggalkan unsur-unsur budaya asli sebagai identitas diri. Jepang merupakan salah satu negara yang modern dan maju, namun tetap mempertahankan identitas diri mereka sebagai masyarakat Jepang.

b.Sikap  Negatif
Berbeda dari sikap positif yang menerima terjadinya perubahan akibat dampak modernisasi dan globalisasi, sikap negatif menunjukkan bentuk penolakan masyarakat terhadap arus modernisasi dan globalisasi. Sikap negatif mengandung unsur-unsur berikut ini.
1) Tertutup dan was-was (apatis); sikap ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada, sehingga mereka merasa was-was, curiga, dan menutup diri dari segala pengaruh kemajuan zaman. Sikap seperti ini pernah ditunjukkan oleh negara Cina dengan politik Great Wall-nya. Sikap apatis dan menutup diri ini tentu juga kurang baik, karena sikap ini akan menjauhkan diri dari kemajuan dan perkembangan dunia, kondisi ini akan menyebabkan masyarakat negara lain yang terus tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman.
2) Acuh tah acuh; sikap ini pada umumnya ditunjukkan oleh masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan globalisasi. Masyarakat awam pada umumnya tidak terlalu repot mengurusi dampak yang akan ditimbulkan oleh modernisasi dan globalisasi. Mereka pada umumnya memercayakan sepenuhnya pada kebijakan pemerintah atau atasan mereka (hanya sebagai pengikut saja). Sikap ini cenderung pasif dan tidak memiliki inisiatif.
3) Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi; sikap ini ditunjukkan dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter. Kondisi ini akan menempatkan segala bentuk kemajuan zaman sebagai hal yang baik dan benar, padahal tidak semua bentuk kemajuan zaman sesuai dengan budaya masyarakat kita. Jika seseorang atau suatu masyarakat hanya menerima suatu modernisasi tanpa adanya filter atau kurang selektif, maka unsur-unsur budaya asli mereka sedikit demi sedikit akan semakin terkikis oleh arus modernisasi yang mereka ikuti. Akibatnya, masyarakat tersebut akan kehilangan jati diri mereka dan ikut larut dalam arus modernisasi yang kurang terkontrol.

2. Akibat Modernisasi dan Globalisasi terhadap Budaya Indonesia
Suatu kemajuan akan menghasilkan dampak positif dan negatif. Hal ini harus dapat kalian sadari betul agar dapat meminimalkan dampak negatif yang merugikan serta memaksimalkan dampak positif yang menguntungkan.
a. Akibat  positif  globalisasi
1) Semakin dipercayanya kebudayaan Indonesia; dengan adanya internet, kalian bisa mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa. Dengan memperbandingkan itu pula kalian dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan budaya Indonesia bila dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain.
2) Ragam kebudayaan dan kekayaan alam negara Indonesia lebih dikenal dunia; dulu mungkin masyarakat Eropa hanya mengenal Bali sebagai objek wisata di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, masyarakat Eropa mulai mengenal keindahan alam Danau Toba di Sumatra Utara, panorama Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara, keaslian alam Perairan Raja Ampat di Papua, kelembutan tari Bedoyo Ketawang dari Solo (Jawa Tengah), keanggunan tari Persembahan dari Sumatra Barat, atau kemeriahan tari Perang dari suku Nias di Sumatra Utara.
b . Akibat Negatif Globalisasi
1) Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock); guncangan budaya umumnya dialami oleh golongan tua yang terkejut karena melihat adanya perubahan budaya yang dilakukan oleh para generasi muda. Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam. Bagi masyarakat yang belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi maka akan timbul goncangan (shock) dalam kehidupan sosial dan
budayanya yang mengakibatkan seorang individu menjadi tertinggal atau frustasi. Kondisi demikian dapat menyebabkan timbulnya suatu keadaan yang tidak seimbang dan tidak serasi dalam kehidupan. Contoh: di era globalisasi ini unsur-unsur budaya asing seperti pola pergaulan hedonis (memuja kemewahan), pola hidup konsumtif sudah menjadi pola pergaulan dan gaya hidup para remaja kita. Bagi individu atau remaja yang tidak siap dan tidak dapat menyesuaikan pada pola pergaulan tersebut, mereka akan menarik diri dari pergaulan atau bahkan ada yang frustasi sehingga menimbulkan tindakan bunuh diri atau perilaku penyimpangan yang lain.
2) Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag); kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi. Contoh: Akibat kenaikan harga BBM pemerintah mengkonversi bahan bakar minyak menjadi gas dengan cara mensosialisasikan tabung gas ke masyarakat. Namun berhubung sebagian masyarakat belum siap, terkait dengan kenyamanan dan keamanan penggunaan tabung gas maka masyarakat kebayakan menolak konversi tersebut. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketertinggalan budaya (cultural lag) oleh sebagian masyarakat terhadap perubahan budaya dan perkembangan kemajuan teknologi.



Tugas IBD ke-3: Perang Antar Suku

Perang Antar Suku di Papua

Perang Antar Suku dan Penyebabnya

Tanah Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada.  Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah Pedalaman Papua. Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi di waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman papua  yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya.  Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Dem,  Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani serta Suku Ekari/Me, dan suku-suku lainnya. Suku-suku tersebut merupakan suku-suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat.


Perdamaian Perang Suku yang Keliru
Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda, Lembaga Kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan dengan hukum-hukum positif maupun hukum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melerai dan menghentikan pertikaian.
Anehnya, sekalipun ketiga lembaga itu melihat perang sebagai sesuatu yang negative, tetapi  dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian perang secara adat yaitu membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu.  Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya dua kelemahan yang mendasar.  Pertama, pola penanganan semacam ini bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya effektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang.
Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika keutamaan dari kategorisasi sosial ini terus-menerus dikukuhkan, itu berarti konflik sosial antar kategorisasi sosial akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai kultural setiap suku yang ada di pedalaman papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
Bagi penulis kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu—yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social—terus menerus dilakukan ? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu ? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu:
1.      Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua.  Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai “masyarakat termiskin’ di Indonesia terus dipertahankan.
2.      Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis.  Ada dua dampak politis yang bias dilihat. a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung  pada pihak lain.  Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka.  Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain?  B). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya ?
3.      Aspek Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?  siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu?
Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua . pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.

Solusi yang Tepat
Menurut saya,  penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru.
Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi.
Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan. Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu.
Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan. Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu. Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif. Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri. Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.  Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku.
Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun.
Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh  dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang. Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.
Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas.
Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah. Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan. Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut.
Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru.




Rabu, 18 Juni 2014

Tugas IBD ke-2: Kerukunan Antar Umat Beragama

BAB I
PENDAHULUAN 
1.1    Latar Belakang Masalah
Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi.
Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat.
Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
1.2   Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian kerukunan umat beragama?
2)      Apa pentingnya kerukunan umat beragama?
3)      Konflik kerukunan beragama?
4)      Cara menjaga kerukunan umat beragama?


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan (berasal dari kata ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan:
1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara

2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
2.3 Jenis – Jenis Kerukunan Antar Umat Beragama
Ø  Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen. Kerukunan antar pemeluk agama yang sama juga harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim sekali terjadi konflik.
Ø  Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama. Kerukunan antar umat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga. Seringkali terjadi konflik antar pemeluk agama yang berbeda.

2.4 Manfaat Kerukunan Antar Umat Beragama
Ø  Terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat
Ø  Toleransi antar umat Beragama meningkat
Ø  Menciptakan rasa aman bagi agama – agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya masing masing
Ø  Meminimalisir konflik yang terjadi yang mengatasnamakan Agama

2.5 Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama

1) Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.
2) Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3) SikapFanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.|
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
2.6 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama

1) Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
2.7 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama
  • Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
  • Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
  • Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
  • Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.

2.8 Faktor-Faktor  Penyebabkan Timbulnya Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama
1. Sikap prasangka stereotype etnik dan dijiwai oleh suasana persaingan yang tajam
2. Penyiaran agama yang ditujukan kepada kelompok yang sudah menganut agama
3. Penyendirian rumah beribadah, pendirian rumah ibadah kelompok minoritas ditengah kelompok mayoritas juga dapat mengganggu hubungan antar umat beragama, keyakinan yang bersifat mutlak ini menimbulkan penolakan yang bersifat mutlak pula terhadap kebenaran agama lain yang diyakini oleh pemiliknya sebagai kebenaran mutlak.
2.9   Pola Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama
a.    Manusia Indonesia satu bangsa, hidup dalam satu negara, satu ideologi Pancasila. Ini sebagai titik tolak pembangunan.
b.    Berbeda suku, adat dan agama saling memperkokoh persatuan.
c.    Kerukunan menjamin stabilitas sosial sebagai syarat mutlak pembangunan.
d.    Kerukunan dapat dikerahkan dan dimanfaatkan untuk kelancaran pembangunan.
e.    Ketidak rukunan menimbulkan bentrok dan perang agama, mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara.
f.    Pelita III: kehidupan keagamaan dan kepercayaan makin dikembangkan sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dalam membangun masyarakat.
g.    Kebebasan beragama merupakan beban dan tanggungjawab untuk memelihara ketentraman masyarakat.

BAB 3
PENUTUP 
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. berbagai macam bahasan mengenai kerukunan antar umat beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia ada beberapa sebab, antara lain; rendahnya sikap toleransi, kepentingan politik dan sikap fanatisme. Adapun solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan dialog antar pemeluk agama dan menanamkan sikap optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama.
3.2 Saran         
Sudah saatnya bukan perbedaan lagi yang kita cari atau yang kita bicarakan, tapi persamaanlah yang seharusnya kita cari karena dari persamaanlah hidup ini akan saling menghargai, menghormati dan selaras. Lewat persamaan kita bisa jalin persaudaraan dan mempererat tali silahturahi, denga begitu aka  tercpta kerukunan dengan sendirinya.

DAFTAR PUSTAKA DAN SUMBER LAIN